Kamis, 13 Januari 2011

KERJASAMA EKONOMI ASEAN


Kerjasama Ekonomi ASEAN

Sejak dibentuknya ASEAN sebagai organisasi regional pada tahun 1967, negara-negara anggota telah meletakkan kerjasama ekonomi sebagai salah satu agenda utama yang perlu dikembangkan. Pada awalnya kerjasama ekonomi difokuskan pada program-program pemberian preferensi perdagangan (preferential trade), usaha patungan (joint ventures), dan skema saling melengkapi (complementation scheme) antar pemerintah negara-negara anggota maupun pihak swasta di kawasan ASEAN, seperti ASEAN Industrial Projects Plan (1976), Preferential Trading Arrangement (1977), ASEAN Industrial Complementation scheme (1981), ASEAN Industrial Joint-Ventures scheme (1983), dan Enhanced Preferential Trading arrangement (1987). Pada dekade 80-an dan 90-an, ketika negara-negara di berbagai belahan dunia mulai melakukan upaya-upaya untuk menghilangkan hambatan-hambatan ekonomi, negara-negara anggota ASEAN menyadari bahwa cara terbaik untuk bekerjasama adalah dengan saling membuka perekonomian mereka, guna menciptakan integrasi ekonomi kawasan.

Pada KTT ke-5 ASEAN di Singapura tahun 1992 telah ditandatangani Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation sekaligus menandai dicanangkannya ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada tanggal 1 Januari 1993 dengan Common Effective Preferential Tariff  (CEPT) sebagai mekanisme utama. Pendirian AFTA memberikan impikasi dalam bentuk pengurangan dan eliminasi tarif, penghapusan hambatan-hambatan non-tarif, dan perbaikan terhadap kebijakan-kebijakan fasilitasi perdagangan. Dalam perkembangannya, AFTA tidak hanya difokuskan pada liberalisasi perdagangan barang, tetapi juga  perdagangan jasa dan investasi.

 KTT ke-9 ASEAN di Bali tahun 2003 menyepakati pembentukan komunitas ASEAN yang salah satu pilarnya adalah Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC). AEC bertujuan untuk menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang ditandai dengan bebasnya aliran barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil dan perpindahan barang modal secara lebih bebas. KTT juga menetapkan sektor-sektor prioritas yang akan diintegrasikan, yaitu: produk-produk pertanian, otomotif, elektronik, perikanan, produk-produk turunan dari karet, tekstil dan pakaian, produk-produk turunan dari kayu, transportasi udara, e-ASEAN (ITC), kesehatan, dan pariwisata. Dalam perkembangannya, pada tahun 2006 jasa  logistik dijadikan sektor prioritas yang ke-12.

KTT ke-10 ASEAN di Vientiene tahun 2004 antara lain menyepakati Vientiane Action Program (VAP) yang merupakan panduan untuk mendukung implementasi pencapaian AEC di tahun 2020.

ASEAN Economic Ministers Meeting (AEM) di Kuala Lumpur bulan Agustus 2006 menyetujui untuk membuat suatu cetak biru (blueprint) untuk menindaklanjuti pembentukan AEC dengan mengindentifikasi sifat-sifat dan elemen-elemen AEC pada tahun 2015 yang konsisten dengan Bali Concord II dan dengan target-target dan timelines yang jelas serta pre-agreed flexibility untuk mengakomodir kepentingan negara-negara anggota ASEAN.

KTT ke-12 ASEAN di Cebu bulan Januari 2007 telah menyepakati ”Declaration on the Acceleration of the Establishment of an ASEAN Community by 2015”. Dalam konteks tersebut, para Menteri Ekonomi ASEAN telah menginstruksikan Sekretariat ASEAN untuk menyusun ”Cetak Biru ASEAN Economic Community (AEC)”. Cetak Biru AEC tersebut berisi rencana kerja strategis dalam jangka pendek, menengah dan panjang hingga tahun 2015 menuju terbentuknya integrasi ekonomi ASEAN, yaitu :

a.    Menuju single market dan production base (arus perdagangan bebas untuk sektor barang, jasa, investasi, pekerja terampil, dan modal);
b.    Menuju penciptaaan kawasan regional ekonomi yang berdaya saing tinggi (regional competition policy, IPRs action plan, infrastructure development, ICT, energy cooperation, taxation, dan pengembangan UKM);
c.    Menuju suatu kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata  (region of equitable economic development) melalui pengembangan UKM dan program-program Initiative for ASEAN Integration (IAI); dan
d.    Menuju integrasi penuh pada ekonomi global (pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi eksternal serta mendorong keikutsertaan dalam global supply network).

Pelaksanaan rencana kerja strategis tersebut dijabarkan lebih lanjut melalui priority actions yang pencapaiannya dievaluasi dan dimonitor dengan menggunakan score card. Disamping itu, diperlukan dukungan berupa kemauan politik, koordinasi dan mobilisasi sumber daya, pengaturan pelaksanaan, peningkatan kemampuan (capacity building) dan penguatan institusi, serta peningkatan konsultasi antara pemerintah dan sektor swasta.  Pelaksanaan rencana kerja strategis tersebut juga akan didukung dengan program pengembangan sumber daya manusia dan kegiatan penelitian serta pengembangan di masing-masing negara.        

      Pada KTT ASEAN Ke-13 di Singapura, bulan Nopember 2007, telah disepakati  Blueprint for the ASEAN Economic Community (AEC Blueprint) yang akan digunakan sebagai peta kebijakan (roadmap) guna mentransformasikan ASEAN menjadi suatu pasar tunggal dan basis produksi, kawasan yang kompetitif dan terintegrasi dengan ekonomi global. AEC Blueprint juga akan mendukung ASEAN menjadi kawasan yang berdaya saing tinggi dengan tingkat pembangunan ekonomi yang merata serta kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi yang makin berkurang.  Sebagai upaya untuk memfasilitasi perdagangan di tingkat nasional dan ASEAN sebagaimana tertuang dalam AEC Blueprint 2015, Indonesia telah  melakukan peluncuran National Single Window (NSW) dalam kerangka ASEAN Single Window (ASW) pada tanggal 17 Desember 2007.  Menurut rencana ASW akan diimplementasikan pada tahun 2009.


ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint

Pada pertemuan ke-39 ASEAN Economic Ministers (AEM) tahun 2007, disepakati mengenai naskah ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint  beserta Strategic Schedule-nya, yang mencakup inisiatif-inisiatif baru serta roadmap yang jelas untuk mencapai pembentukan ASEAN Economic Community tahun 2015.

Berkaitan dengan disepakatinya draft AEC Blueprint, pada pertemuan  ke-39 AEM juga disepakati mengenai Roadmap for ASEAN integration of the Logistics Services Sector sebagai priotitas ke-12 untuk integrasi ASEAN dan menandatangani “Protocol to Amend Article 3 of the ASEAN Framework  (Amandment) Agreement for the Integration of the Priority Sectors”. Dengan demikian, ke-12 Priority sectors dimaksud adalah agro-based products, air-travel, automotivr, e-ASEAN, electronics, fisheries, healthcare, rubber-based products, textiles & apparels, tourism, wood-based products, logistics services.

ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint tersebut kemudian disahkan pada Rangkaian Pertemuan KTT ASEAN ke-13. AEC Blueprint bertujuan untuk menjadikan kawasan ASEAN lebih stabil, sejahtera dan sangat kompetitif, memungkinkan bebasnya lalu lintas barang, jasa, investasi dan aliran modal. Selain itu, juga akan diupayakan kesetaraan pembangunan ekonomi dan pengurangan kemiskinan serta kesenjangan sosial ekonomi pada tahun 2015.

AEC Blueprint  merupakan suatu master plan bagi ASEAN untuk membentuk Komunitas Ekonomi ASEAN pada tahun 2015 dengan mengidentifikasi langkah-langkah integrasi ekonomi yang akan ditempuh melalui implementasi berbagai komitmen yang rinci, dengan sasaran dan jangka waktu yang jelas.

Terkait dengan AEC Blueprint, ASEAN juga telah mengembangkan mekanisme Scorecard untuk mencatat implementasi dan komitmen-komitmen negara anggota  sebagaimana yang telah disepakati di dalam AEC Blueprint. Scorecard dimaksud akan memberikan gambaran komprehensif bagaimana kemajuan ASEAN untuk mengimplementasikan AEC pada tahun 2015. Dalam kaitan ini negara-negara ASEAN telah menyepakati bahwa AEC Scorecard yang diusulkan akan dilaporkan pada KTT  ke-14 ASEAN, Desember 2008 di Thailand.

Berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan “AEC awareness Year 2008”, para pertemuan ke-40 AEM, para Menteri Ekonomi ASEAN mengesahkan AEC Communication Plan dan menekankan pentingnya untuk melibatkan berbagai stakeholders dalam proses komunikasi, yaitu Badan-badan sektoral ASEAN, sektor swasta, otoritas di tingkat lokal dan nasional di negara-negara ASEAN, kalangan akademi serta tokoh-tokoh masyarakat.

Terkait dengan implmentasi AEC Bluepint,  pada tahun 2007-2008, Ditjen Kerjasama ASEAN telah melakukan sosialisasi AEC Blueprint bersamaan dengan sosialisasi ASEAN Charter, baik di tingkat pusat, khususnya kepada asosiasi-asosiasi bisnis  maupun  di daerah-daerah di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan,  Sulawesi dan Irian. Sosialisasi dilakukan dalam bentuk seminar, workshop, lokakarya maupun Kuliah Umum, wawancara di media massa cetak dan elektronik lokal di pusat dan daerah.  Salah satu sasaran yang ingin dicapai adalah untuk memicu kesiapan masyarakat serta menimbulkan mengenai “public awareness” mengenai ASEAN. 

Kerjasama di Sektor Industri


Kerjasama di sektor industri merupakan salah satu sektor utama yang dikembangkan dalam kerjasama ekonomi ASEAN. Kerjasama tersebut ditujukan untuk meningkatkan arus investasi, mendorong proses alih teknologi dan meningkatkan keterampilan negara‑negara ASEAN, termasuk dalam bentuk pertukaran informasi tentang kebijaksanaan perencanaan indus­tri nasional masing‑masing. Kerjasama ASEAN di sektor perindustrian diarahkan untuk menciptakan fasilitas produksi baru dalam rangka mendorong perdagangan intra‑ASEAN melalui berbagai skema kerjasama yang dikembangkan berdasarkan konsep resource pooling dan market sharing.

ASEAN Industrial Cooperation (AICO) yang ditandatangani pada bulan April 1996 dan berlaku efektif pada bulan Nopember 1999 merupakan insiatif kerjasama di sektor industri yang saat ini terus dikembangkan.  AICO merupakan skema kerjasama antara dua atau lebih perusahaan di kawasan ASEAN dalam pemanfaatan berbagai sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing perusahaan, dalam rangka memproduksi suatu barang yang bertujuan meningkatkan daya saing perusahaan ASEAN. AICO menyediakan prasarana untuk menerapkan prinsip economic of scale and scope yang didukung oleh pajak yang rendah untuk meningkatkan transaksi di ASEAN, menumbuhkan kesempatan investasi dari dalam dan luar ASEAN, serta menciptakan pasar regional yang lebih besar. Perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan skema kerjasama ini antara lain akan mendapatkan preferensi berupa pengenaan bea masuk hingga 5%.

AICO diharapkan akan mendorong kerjasama industri antar negara ASEAN dan mendorong investasi pada industri berbasis teknologi dan kegiatan yang memberikan nilai tambah pada produk industri. AICO juga memberikan kesempatan luas kepada perusahaan di negara ASEAN untuk saling bekerjasama guna menghasilkan produk dengan menikmati preferensi tarif. Insentif lain yang juga diberikan kepada perusahaan yang bekerjasama dalam payung AICO berupa akreditasi kandungan lokal serta insentif non-tarif lainnya yang dapat diberikan oleh masing-masing negara anggota.

AICO tidak hanya diperuntukkan bagi perusahaan-perusahaan industri, tetapi juga untuk trading companies yang membantu pemasaran produk-produk industri kecil. Pada 21 April 2004 para Menteri Ekonomi ASEAN telah menandatangani Protocol to Amend the AICO Agreement yang mengatur perubahan/penurunan tarif preferensi yang diberikan untuk proyek-proyek AICO yang disetujui. 

Kerjasama di Sektor Perdagangan


  1. Kerjasama Perdagangan Barang

Berkaitan dengan AFTA, pada pertemuan ke-21 AFTA Council tanggal 23 Agustus 2007, telah dicapai kemajuan yang cukup signifikan mengenai implementasi Work Programme on Elimination of Non-Tariff Barries (NTBs) serta dalam melakukan revisi mengenai CEPT AFTA Rules of Origin, yang diharapkan akan mengurangi  biaya transaksi perdagangan serta memfasilitasi perdagangan di kawasan.

Berkaitan dengan perdagangan barang ini,  ASEAN juga  berhasil menyelesaikan pembahasan substantif mengenai ASEAN Trade in Goods Agreement  (ATIGA),  yang diharapkan akan ditandatangani pada bulan Desember 2008. ATIGA  mengintegrasikan semua inisiatif ASEAN yang berkaitan dengan perdagangan barang kedalam suatu comprehensive framework, menjamin sinergi dan konsistensi di antara berbagai inisiatif. ATIGA  akan meningkatkan transparansi, kepastian dan meningkatkan AFTA-rules-based system yang merupakan hal yang sangat penting bagi komunitas bisnis ASEAN.

ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) merupakan capaian  penting yang mengkodifikasi dan penyempurnaan kesepakatan ASEAN di bidang perdagangan barang, yakni Agreement on Common Effective Preferential Tariff Scheme for the ASEAN Free Trade Area (CEPT-AFTA,1992), Mutual Recognition Arrangement (MRA, 1998), e-ASEAN (2000), Sektor Prioritas Integrasi (2004), dan perjanjian ASEAN Single Window (ASW, 2005). Khusus untuk pengurangan / penghapusan tarif dan hambatan non-tarif internal ASEAN, ATIGA menegaskan kembali kesepakatan yang telah dicapai sebelumnya, yakni penghapusan seluruh tarif atas produk dalam  kategori  Inclusion List (IL) pada 1 Januari 2010 bagi ASEAN-6, dan 2015-2018 bagi ASEAN-4 (Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam – CLMV), serta penghapusan hambatan non tarif pada 1 Januari 2010 bagi ASEAN-5, 1 Januari 2012 bagi Philippines, dan 2015 bagi CLMV.


b. Fasilitasi Perdagangan

Dalam upaya meningkatkan perdagangan, ASEAN telah menandatangani  Protocol 1-Designation of Tansit Transport Routes and Facilities.  Implementasi Protocol dimaksud akan memfasilitasi transportasi barang-barang di kawasan serta tidak merintangi akses dan pergerakan  kendaraan yang mengangkut barang-barang tersebut di kawasan ASEAN.

Berkaitan dengan fasilitasi perdagangan, Indonesia juga telah  melakukan pembentukan Nasional Single Window (NSW) dan ASEAN Single Window (ASW) merupakan salah satu upaya fasilitasi perdagangan di tingkat nasional dan ASEAN untuk mempermudah dan mempercepat arus perdagangan dalam rangka mendukung proses pembentukan ASEAN Economic Community. National Single Window diharapkan mulai dapat beroperasi pada akhir tahun 2008  di negara-negara ASEAN+6 dan tahun 2012 bagi negara-negara CLMV.

Untuk tingkat nasional, Perkembangan Tahap I Uji Coba NSW telah dilaksanakan di Tanjung Priok dari Desember 2007 – Juni 2008. Sistem uji coba melibatkan 5 (five) Government Agencies (GA) yang terkait dengan pemberian izin, yaitu Ditjen Bea dan Cukai–Depkeu,  Ditjen Daglu, Badan POM, Badan Karantina Deptan dan Pusat Karantina Perikanan (DKP) Draft Blueprint NSW. Uji coba dimaksud difokuskan pada importir prioritas sebanyak 102. Tujuan yang dapat dicapai adalah penyederhanaan dokumen impor dan pemendekan proses bisnis pengurusan perizinan impor dari 5.5 hari menjadi 8 jam.

Implementasi NSW Tahap II dimulai pada bulan Juli – Desember 2008. Pada Tahap II difokuskan pada tingkat operasional dengan sasaran antara lain : penerapan di lima pelabuhan utama, yaitu Tanjung Prior (Jakarta), Tanjung Perak (Surabaya), Belawan (Medan) dan Bandara Soekarno Hatta yang merupakan  tempat bongkar muat barang ekspor impor dengan tingkat volume 90% dari total ekspor impor Indonesia; GA yang terlibat menjadi 15 (total instansi yang terlibat perizinan sesudah penyederhanaan/sebelumnya 34 instansi); jasa perizinan meliputi ekspor, impor, pengangkutan udara dan pengangkutan laut. Di samping itu, sistem NSW juga mulai diujicobakan dengan ASW pada tanggal 11 Agustus 2008 ditandai adanya pertukaran dokumen kepabeanan (SKA dan Form D antara Indonesia dan Malaysia).

Diharapkan seluruh importir terdaftar (sekitar 17.500 importir) telah dapat menggunakan sistem dimaksud pada bulan Desember 2008 dan masalah terkait dengan Service Level Agreement (SLA), permanent help desk; fee structure, changing management dan Badan Pengelola telah dapat diputuskan pada Implementasi Tahap II ini.

c. Realisasi ASEAN Free Trade Area

Pada pertemuan ke-40 ASEAN Economic Ministers tahun 2008,  ASEAN Secretariat telah melaporkan bahwa implementasi komitmen liberalisasi tariff CEPT telah mencapai 92.25 % dari semua produk yang telah dimasukkan ke dalam inclusion list (IL), 88.48 % memiliki tarif berkisar antara 0-5 % di antara negara-negara ASEAN. Tarif di antara negara-negara ASEAN yang telah dihapuskan sebesar 63.42 % dari  IL products, rata-rata  berkurang sebesar 2,58% dalam tahun 2007 menjadi 1.95 % dalam tahun 2008.

d. Comprehensive Revised CEPT Rules of Origin

Sejak 1 Agustus 2008, ASEAN telah mengimplementasikan Comprehensive revised CEPT Rules of Origin  yang mencakup  revisi terhadap teks CEPT ROO serta komponennya seperti Operational Certification Procedures, Product Specific Rules (PSRs) dan  Certificate of Origin (CO) Form D.  Revisi CEPT ROO termasuk revisi general rule of the CEPT Rules of Origin dari kriteria single “Regional Value Content of 40 percent (RVC(40)  menjadi alternative co-equal rules of “Regional Value Content of 40 percent or Change in Tariff Headings (RVC(40) or CTH)”.

e. Kerjasama Kepabeanan

Selama 3 (tiga) tahun terakhir, ASEAN Customs Administrations terus melakukan upaya-upaya untuk mengimplementasikan Strategic Plan of Customs Development (SPCD) 2005 – 2010, khususnya dalam bidang cargo clearance, risk management, e-customs, facilitation of goods in transit, customs enforcement and human resource development. Disamping itu, ASEAN juga mengupayakan penyelesaian mengenai finalisasi Protocol 2 (Designation of Frontier Posts) dan Protocol 7 (Customs Transit Systems) guna memungkinkan implementasi penuh Framework Agreement on Facilitation of Goods in Transit and the establishment of the ASEAN Customs Transit System.

a.    Standards, Technical Regulations and Conformity Assessment Procedures (STRACAP)

Dalam upaya untuk fasilitasi implementasi priority sectors, ASEAN telah mengimpelementasikan sejumlah ASEAN Sectoral Mutual Recognition Arrangement (MRA).  Hingga tahun 2007, di bidang produk barang, Indonesia telah menandatangani 3 (tiga) MRAs, yaitu di bidang cosmetics, electrical and electronic equipment serta pharmaceutical. Namun demikian, mengalami hambatan dialami dalam proses ratifikasi mengingat adanya benturan antara MRA dimaksud dengan peraturan perundangan nasional terkait.

b.    Initiative for ASEAN Integration (IAI)

Initiative for ASEAN Integration (IAI) adalah suatu policy framework yang dimaksudkan untuk memberikan kontribusi, dengan dasar berkesinambungan, untuk mempersempit kesenjangan pembangunan di antara negara-negara ASEAN, khususnya untuk negara-negara CLMV. Kebijakan dimaksud ditegaskan di dalam Ha Noi Plan of Action 1998 serta Deklarasi mengenai Narrowing Development Gap for Closer ASEAN Integration 2001.

IAI dituangkan di dalam IAI Work Plan, yang merupakan rencana 6 tahunan (Juli 2002 – Juni 2008). Sampai dengan tanggal 15 Mei 2008, terdapat 203 proyek dalam IAI Work Plan dengan berbagai tahap implementasinya. Pembiayaan telah disiapkan untuk 158 proyek (78%). 116 proyek telah berhasil diselesaikan, 19 proyek sedang dilaksanakan, 2 proyek telah mendapatkan pendanaan dan menunggu implementasi, 2 proyek masih mencari  dana separuhnya, 10 proyek masih menunggu proses pelaksanaan dan 18 proyek belum mendapatkan pendanaan.

Sumber pendanaan proyek-proyek IAI berasal dari negara-negara ASEAN + 6 dan negara-negara donor lainnya. Kontribusi ASEAN + 6 sampai dengan tanggal 15 Mei 2008 berjumlah US $ 30.98 juta. Kontribusi Indonesia tercatat sebesar US $ 804.437 untuk 9 (sembilan) proyek, dengan  share sebesar 2,6 % dari total pendanaan yang disiapkan oleh ASEAN-6. Sedangkan Singapura memberikan kontribusi tertinggi, sebesar US $ 22.811.330, dengan share 73.64% dari seluruh total pendanaan ASEAN.

Di samping itu, kontribusi ASEAN-6 terhadap CLMV  on bilateral basis, sampai dengan tanggal 15 Mei 2008 total berjumlah US $ 159.483.271, untuk implementasi proyek-proyek dari tahun 1992–2008. Sedangkan kontribusi Indonesia on bilateral basis sebesar US $ 1.661.588, untuk implementasi 30 Juli 2000–2006. Kontribusi tertinggi diberikan oleh Thailand, sebesar US $ 100.358.255 (implementasi proyek 1996 – 2004).

Kontribusi negara-negara dialogue partner ASEAN terhadap proyek-proyek IAI sampai dengan tanggal 15 Mei 2008 berjumlah total US $ 20.18 juta, untuk 65 proyek. 5 (lima) negara donor utama adalah Jepang, Korea, India, Norwegia dan Uni Eropa, menyumbang sebesar US $ 17.64 juta (87.3% total dana dari negara donor).

Sebagai konsistensi untuk narrowing development gap, saat ini sedang disusun dan diselesaikan IAI Work Plan II, yang diharapkan akan dapat segera diselesaikan pembahasannya. 



h. Perkembangan Pembentukan FTA ASEAN Dengan Negara-negara Mitra Wicara

a)    ASEAN–China Free Trade Agreement

Trade in Goods Agreement dan Dispute Settlement Mechanism Agreement ditandatangani oleh Menteri Ekonomi ASEAN dan China pada bulan Nopember 2004. Sementara itu, Agreement on Trade in Services dan Second Protocol to Amend the Framework Agreement ditandatangani pada bulan Januari 2007 di Cebu, Filipina. Berkenaan dengan proses ratifikasi ketiga perjanjian dimaksud, hanya tinggal Kamboja yang belum meratifikasi perjanjian tersebut.

Terkait dengan implementasi FTA ASEAN-China di bidang jasa, China telah mengajukan request kepada Indonesia untuk 10 sektor jasa, yaitu business services; komunikasi; konstruksi dan jasa engineering; distribusi; pendidikan; lingkungan; keuangan; jasa sosial dan kesehatan; jasa olah raga ,budaya dan rekreasi; dan jasa transportasi. Berkenaan dengan hal tersebut, telah disepakati bahwa basis offer untuk sektor-sektor  yang masuk dalam Komitmen Pertama FTA ASEAN-China bidang Jasa adalah AFAS-4 (business services, telekomunikasi, Konstruksi, Jasa terkait dengan Air Travel dan Kepariwisataan) ditambah dengan jasa maritim, pendidikan, keuangan khusus asuransi dan kesehatan yang kesemuanya telah masuk dalam AFAS-5.

Perundingan yang masih belum diselesaikan adalah bidang investasi dan kerjasama ekonomi. Negosiasi di bidang investasi semula diharapkan dapat diselesaikan pada akhir tahun 2007. Namun demikian setelah 4 (empat) tahun berjalan tidak terlihat tanda-tanda dimana akan tercapai kesepakatan. Hal ini dikarenakan perbedaan posisi ASEAN yang tetap menginginkan memakai pendekatan AIA atau negative list approach. Sedangkan China menghendaki penggunaan positive approach.

Pada KTT ASEAN ke-13 para Pemimpin ASEAN menekankan pentingnya kerjasama ASEAN-China yang tentunya akan memberikan manfaat bagi pertumbuhan ekonomi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat di kawasan Asia, khususnya ASEAN dan China. Bukti nyata pertumbuhan ekonomi termaksud ditandai dengan meningkatnya volume perdagangan ASEAN-China dari US$ 160 miliar pada tahun 2006 menjadi US$171.1 miliar pada tahun 2007.  Sebagai catatan, pada periode 2003-2007 total nilai perdagangan Indonesia China tumbuh sebesar 28.7%.  Pada tahun 2007, realisasi investasi China di Indonesia berjumlah 22 proyek dengan nilai US$ 28.9 juta.  Sementara negosiasi perjanjian investasi ASEAN-China yang belum berhasil terselesaikan diharapkan dapat rampung dalam tahun 2008.

Di sela-sela KTT ASEAN ke-13 diakhiri dengan penandatanganan Memorandum of Understanding between ASEAN and the Government of the People’s Republic of China on Strengthening Sanitary and Phytosanitary Cooperation oleh Sekjen ASEAN atas nama negara anggota ASEAN dan Minister General Administration of Quality Supervision, Inspection and Quarantine, China.

b)    ASEAN-Canada Trade And Investment Framework Arrangement (TIFA)

Meskipun FTA ASEAN-Kanada masih merupakan tujuan jangka panjang, kedua belah pihak mengakui mengenai adanya suatu keperluan untuk lebih memformalkan hubungan, dan meminta Sekretariat ASEAN untuk menyusun draft awal ASEAN-Canada Economic Arrangement yang sejenis dengan Trade and Investment Framework Arrangement (TIFA) yang telah ditanda-tangani Kanada dengan MERCOSUR dan ASEAN Community.

Pada SEOM 1/39 di Baguio City, Filipina, Januari 2008, SEO bertukar pandangan mengenai pembatalan sepihak oleh  pihak Kanada karena isu Myanmar atas rencana pertemuan konsultasi SEOM-Kanada di Vancouver, Kanada yang dijadwalkan pada bulan Nopember 2007. Selanjutnya pada 2nd ASEAN Canada Informal Coordinating Mechanism (ICM) di Ha Noi, Viet Nam 10 Maret 2008, Indonesia telah menyampaikan penyesalannya  dan berharap agar Kanada dapat menggulirkan kembali pembahasan TIFA. Viet Nam sependapat dengan Indonesia dan meminta konfirmasi lebih lanjut mengenai kepastian penjadwalan ulang pertemuan pembahasan TIFA.

Pada Pertemuan ke-5 ASEAN-Canada Dialogue di Ho Chi Minh, Viet Nam, 12-14 Mei 2008, Kanada telah menyampaikan keputusannya untuk melaksanakan the 3rd ASEAN–Canada SEOM yang tertunda di Vancouver, Kanada pada akhir bulan Nopember 2008.

Sebagai catatan, draft TIFA ASEAN-Kanada terdiri dari 5 sections dengan 1 Annex berupa Trade and Investment Cooperation Arrangement between ASEAN Canada Work Plan, yaitu : Section I Objectives; Section II Principles; Section III Expansion of Trade and Investment; Section IV Joint Council on Trade and Investment; Section V Final Clauses.

c)    ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA)

Terkait dengan ASEAN-Australia-New Zealand FTA (AANZ FTA), setelah dilakukan perundingan sejak  3 (tiga) tahun terakhir sudah dapat dikatakan selesai kecuali berkaitan dengan ”market access” untuk sektor otomotif. Dalam kaitan ini, Australia mengharapkan agar jika market access dimaksud belum dapat disepakati maka AANZ FTA dapat ditandatangani pada bulan Desember mendatang. Sedangkan isu-isu bilateral yang belum dapat diselesaikan akan diselesaikan setelah AANZ FTA ditandatangani.

Dalam kaitan ini, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah konsekwensi hukum ditandatanganinya AANZ FTA apabila belum dapat disepakati/diselesaikannya komitmen bilateral dengan Australia dan New Zealand, mengingat  offer dan request Australia serta New Zealand kepada Indonesia belum disepakati.

Di samping itu, AANZ FTA menyisakan permasalahan lain, yaitu menyangkut 2 (dua) MOU mengenai labour dan environment yang diharapkan oleh New Zealand dapat ditandatangani oleh Indonesia dan New Zealand sebelum ditandatanganinya AANZ FTA. Kedua MOU tersebut masih dibahas dan dipelajari lebih lanjut oleh pihak Depnaker serta Kementerian Lingkungan Hidup.

      Perundingan FTA ASEAN – Australia dan Selandia Baru telah berhasil diselesaikan,  dan kesepakatan FTA dimaksud telah ditandatangani pada KTT ASEAN ke-14 di Thailand pada Februari 2009.  Diharapkan negara anggota ASEAN segera meratifikasi perjanjian tersebut sehingga perjanjian dapat diimplementasikan per 1 Januari 2010.



d)    ASEAN-India Free Trade Area (AIFTA)
        
Sejak ditandatanganinya Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between ASEAN and India pada tanggal 8 Oktober 2003, perundingan ASEAN-India Trade Negotiating Committee (AITNC) telah memasuki pertemuan ke-21. Draft ASEAN–India Trade in Goods Agreement telah berhasil disepakati kecuali “market acsess” kepada Viet Nam. Diharapkan hal ini dapat segera diselesaikan secara bilateral. Di samping itu juga masih terdapat perbedaan pandangan antara ASEAN dengan India berkaitan dengan penurunan tarif di dalam Exclusion List (EL) dan Normal Track (NT).

e)    ASEAN-EU Free Trade Agreement (AEFTA)

Pertemuan ASEAN-EU Commemorative Summit di Singapura pada tanggal 22 November 2007, berhasil menyepakati dua dokumen penting yaitu Plan of Action to Implement the Nuremberg Declaration on an EU-ASEAN Enhanced Partnership dan Joint Declaration of the ASEAN-EU Commemorative Summit. Kedua dokumen tersebut memuat paragraf kesepakatan peningkatan kerjasama ekonomi kedua kawasan.

Hingga saat ini, telah diadakan 6 kali pertemuan Joint Committee on ASEAN-EU Free Trade Agreement (JCAEFTA). Dalam pertemuan JCAEFTA ke-6 yang berlangsung di Ha Noi, Viet Nam pada tanggal 14-17 Oktober 2008, masih terlihat keinginan dari pihak UE untuk memasukan isu-isu non-tradisional seperti government procurement, competition policy, dan sustainable development.

Dalam isu Trade in Goods, UE juga mengemukakan penawaran dengan pendekatan country specific adjustrment, yang mengindikasikan adanya offer yang berbeda dari UE kepada setiap negara-negara anggota ASEAN. Namun, ASEAN tidak menyetujui tawaran EU tersebut karena dikhawatirkan pendekatan ini akan menimbulkan diskriminasi.

Terkait dengan modalitas ASEAN-EU Free Trade Agreement (AEFTA), terdapat dua proposal tentang working method (mekanisme perundingan)  yang akan digunakan dalam kerangka AEFTA. UE mengusulkan agar working method dilakukan dengan menggunakan mekanisme perundingan dual track, yakni perundingan “fast track”  yang dilakukan dengan beberapa negara (kelompok kecil) terutama negara-negara yang memiliki tingkat ambisi tinggi baik dalam hal cakupan isu-isu yang dirundingkan maupun ambisi yang cukup tinggi di masing-masing isu, dan “normal track” yang dilakukan dengan negara anggota ASEAN lainnya yang tingkat ambisinya lebih rendah.

Berkenaan dengan proposal tersebut, Viet Nam juga mengusulkan pendekatan yang hampir sama dengan UE, namun sifatnya sukarela. Di samping traditional issues (trade in goods, services dan investment) kelompok pertama dapat merundingkan non-traditional issues (seperti competition policy, sustainable development dan government procurement), namun sifatnya sukarela. Sedangkan kelompok kedua hanya merundingkan traditional issues.

f)     ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership

Landasan perundingan ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership adalah Joint Declaration of the Leaders on Comprehensive Economic Partnership between ASEAN and Japan yang telah ditandatangani pada tanggal 5 November 2002. Kemitraan ini juga kemudian diperkuat dengan penandatanganan Framework for Comprehensive Economic Cooperation between ASEAN and Japan pada tanggal 8 Oktober 2003.

Saat ini perjanjian AJCEP telah ditandatangani secara ad-referendum pada bulan Maret 2008. Sedangkan pihak Jepang telah meratifikasi perjanjian tersebut pada tanggal 21 Juni 2008. Saat ini masing-masing negara ASEAN sedang melaksanakan prosedur legal nasional guna dapat menerapkan perjanjian ini.

Kerjasama di Sektor Jasa

a. Perkembangan Liberalisasi Jasa ASEAN

1) Peranan Sektor Jasa ASEAN

Sektor Jasa memegang peranan penting di ASEAN dengan rata-rata 40-50% GDP negara ASEAN berasal dari sektor jasa. Jasa juga berperan penting dalam perekonomian Indonesia dengan porsi 46% total GDP pada tahun 2007.

Dalam upaya meningkatkan kerjasama ekonomi melalui liberalisasi perdagangan di bidang jasa, Negara-negara ASEAN telah menyepakati dan mengesahkan ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) pada tanggal 15 Desember 1995 di Bangkok, Thailand.  Selanjutnya untuk menindaklanjuti kesepakatan tersebut, telah dibentuk  Coordinating Committee on Services (CCS) yang memiliki tugas menyusun modalitas untuk mengelola negosiasi liberalisasi jasa dalam kerangka AFAS yang mencakup 8 (delapan) sektor,  yaitu: Jasa Angkutan Udara dan Laut, Jasa Bisnis, Jasa Konstruksi, Jasa Telekomunikasi, Jasa Pariwisata,  Jasa Keuangan, Jasa Kesehatan dan Jasa Logistik.

Indonesia mendorong liberalisasi sektor jasa melalui Badan Kebijakan Fiskal, Departemen Keuangan, yang bertindak sebagai koordinator (Tim Koordinator Bidang Jasa) di semua forum dan sektor, termasuk sebagai pengelola sektor jasa keuangan non-bank dan jasa profesi (akuntan dan penilai).

Sejak penandatangan AFAS hingga saat ini, Negara-negara anggota ASEAN telah menyepakati  6 paket komitmen liberalisasi jasa.   KTT ASEAN ke-13 di Singapura pada November 2007 telah menyepakati pengesahan paket ke-6 tersebut sebagai kelanjutan liberalisasi jasa di bawah AFAS. Prinsip, strategi dan modalitas untuk liberalisasi jasa tersebut ditujukan guna mewujudkan realisasi bebasnya arus perdagangan jasa ASEAN dalam rangka pembentukan kawasan ekonomi terintegrasi “Komunitas Ekonomi ASEAN” tahun 2015. Integrasi perdagangan jasa ASEAN akan dilaksanakan dengan mengacu pada Cetak Biru Pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN yang juga telah disepakati pimpinan ASEAN pada kesempatan KTT ASEAN tersebut.

Disamping itu juga telah ditandatangani ASEAN Multilateral Agreement on the Full Liberalisation of Air Freight Services and the ASEAN multilateral Agreement on Air Services pada pertemuan ke-14 ASEAN Transport Ministers’ Meeting pada bulan November 2008.

2)    Integrasi Sektor Jasa Prioritas Menjelang Realisasi Komunitas Ekonomi ASEAN 2015

ASEAN telah menetapkan 5 (lima) sektor jasa prioritas dari 12 sektor prioritas integrasi  barang dan jasa yang akan diliberalisasi menjelang pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN 2015, yaitu: Jasa Kesehatan, Jasa Pariwisata, e-ASEAN, Jasa Logistik dan Jasa Transportasi Udara.

Target penghapusan hambatan dalam perdagangan bidang jasa di empat sektor prioritas bidang jasa adalah tahun 2010 untuk jasa perhubungan udara, e-ASEAN, kesehatan, dan pariwisata dan tahun 2013 untuk jasa logistik. Adapun liberalisasi bidang jasa seluruhnya ditargetkan pada tahun 2015.

Masing-masing sektor prioritas tersebut telah dilengkapi peta kebijakan (roadmaps) yang mengkombinasikan inisiatif-inisiatif khusus dengan inisiatif yang lebih luas secara lintas sektor seperti langkah-langkah fasilitasi perdagangan.

3)    Jasa Angkutan Udara (Air Transport Services)

Sidang ke 18 ASEAN Air Transport Working Group (ATWG) di Kuala Lumpur tanggal 12 – 14 Agustus 2008 membahas berbagai hal terkait dengan upaya liberalisasi jasa angkutan udara ASEAN, termasuk ASEAN Multilateral Agreement on the Full Liberalisation of Air Freight Services, ASEAN Multilateral Agreement on Air Services, ASEAN Single Aviation Market (SAM) dan Kerjasama Angkutan Udara dengan Mitra Dialog.

4)    Jasa Angkutan Laut (Maritime Transport Services)

Sidang ke-16 ASEAN Maritime Transport Working Group (MTWG) di Nha Trang, Viet Nam tanggal 9-11 September telah membahas langkah-langkah lebih lanjut dalam mengimplementasikan Roadmap Towards an Integrated and Competitive Maritime Transport. Terkait Roadmap Towards an Integrated and Competitive Maritime Transport, Indonesia ditunjuk  bertanggung jawab sebagai lead coordinator untuk measure (langkah kebijakan) no.11 “Confirm the Principle of Open Access to the International Maritime Trade of All ASEAN Member States”  dan measure no.12 “Develop the Strategies for an ASEAN Single Shipping Market” dari Roadmap dimaksud.

5)    Jasa Keuangan (Finance Services)

Pertemuan terkini Para Menteri Keuangan ASEAN dan ASEAN Finance Minister Investors Seminar (AFMIS) diselenggarakan di Dubai, Uni Emirat Arab pada tanggal 7-9 Oktober 2008. Para Menteri menegaskan komitmennya untuk memperkuat kerja sama ekonomi dan keuangan sekaligus memperkuat tingkat kompetensi di pasar global. Pertumbuhan GDP regional diperkirakan akan mengalami sedikit perlambatan dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 6,7 %.

Untuk merespon hal tersebut, ditegaskan perlunya upaya kapitalisasi yang kuat pada sektor perbankan dan institusi keuangan selain upaya untuk segera dapat mengimplementasikan Chiang Mai Initiative Multilateralisation pada pertengahan tahun 2009 sejalan dengan inisiatif regional yang lain dalam upaya kerjasama dan integrasi regional.

6)    Jasa Telekomunikasi (Telecommunications Services)

ASEAN menyadari pentingnya Teknologi Informasi dan Komunikasi bagi seluruh lapisan masyarakat. Terkait hal ini telah disepakati upaya sinergis untuk membangun infrastruktur komunikasi melalui “Siem Reap Ministerial Declaration on Enhancing Universal Access on ICT Services in ASEAN” yang disepakati dalam sidang TELSOM/TELMIN ke-7 tahun 2007 di Siem Reap, Kamboja.

9th ASEAN Telecommunications & Information Technology Senior Officials Meeting (TELSOM-9) dan 8th ASEAN Telecommunications & Informations Technology Ministers Meeting (TELMIN-8) dengan tema ‘’High Speed Connection to Bridge ASEAN Digital Divide” di Bali, pada tanggal 25-29 Agustus 2008 telah membahas dan mengesahkan indikator dan target dalam ICT Scorecard  yang diperlukan untuk mencapai proses integrasi dan pengembangan sektor ICT ASEAN tahun 2008-2010.

7)    Jasa Pariwisata (Tourism Services)

Dalam pertemuan ASEAN Tourism Meetings di Manila tanggal 6 – 9 Juli 2008, telah dibicarakan beberapa hal antara lain:
-       Penyusunan MRA di bidang Pariwisata diharapkan selesai pada akhir 2008 dan dapat ditandatangani oleh para Menteri Pariwisata ASEAN pada saat ASEAN Tourism Forum (ATF) 2009 di Ha Noi, Viet Nam, tanggal 5-12 Januari 2009.
-       Dalam kerangka ASEAN Tourism Resource Management and Development Network (ATMR) telah direncanakan untuk mengadakan beberapa kegiatan antara lain: Training on eco tourism di Thailand, Pelatihan Tourism Heritage di Indonesia, ATMR Cruise di Singapura, Workshop tentang Home stay di Malaysia.
-       Guna lebih meningkatkan promosi ASEAN sebagai destinasi tunggal telah dibahas beberapa kegiatan promosi bersama, yaitu: ASEAN Promotional Chapter for Tourism, ASEAN Tourism Area in International tourism Fairs dan Joint Promotion Activities with ASEAN Airlines.
-       Terkait dengan NTO/VAC Fund dinyatakan bahwa Balance of NTO/VAC Fund hingga bulan Mei 2008 adalah USD 58,791.25.

8)    Jasa Logistik (Logistic Services)

Jasa logistik telah ditetapkan sebagai sektor prioritas kedua belas yang akan diliberalisasikan oleh ASEAN. Roadmap for Integration of Logistics Services telah ditandatangani pada Sidang ke-39 ASEAN Economic Ministers’ di Makati City, Filipina, pada tanggal 24 Agustus 2007.
  
      Mutual Recognition Arrangements  Bidang Jasa

Para Menteri Ekonomi ASEAN telah menandatangani Mutual Recognition Agreement (MRA) Framework on Accountancy Services, MRA on Medical Practitioner and MRA on Dental Practitioners. MRA Framework on Accountancy Services yang akan menjadi prinsip-prinsip dasar dan kerangka negosiasi bilateral atau multilateral. Sedangkan MRAs mengenai Medical Practitioners and Dental Practitioners diharapkan dapat memfasilitasi mobilitas qualified medical and dental practitioners di ASEAN.

Di samping itu juga telah ditandatangani MRAs di bidang engineering services, architectures services, nursing services and surveying and urged renewed efforts by the related professional bodies to implement the MRAs. Sedangkan Mutual Recognition Arrangements on Tourism Professionals, diharapkan akan dapat ditandatangani pada ASEAN Tourism Ministers Meeting pada bulan Januari 2009.


Ratifikasi Perjanjian-perjanjian Ekonomi ASEAN

Hingga saat ini terdapat 92 Perjanjian Ekonomi ASEAN. Dari jumlah tersebut, 57 perjanjian telah diratifikasi, sedangkan 35 masih dalam proses. Perlu disampaikan juga bahwa terdapat 12 perjanjian dalam tahap akhir proses ratifikasi dan diharapkan selesai pada akhir tahun 2008.


Kerjasama di Sektor Investasi


Di sektor investasi, kerjasama ASEAN diawali dengan dikemukakannya gagasan pembentukan suatu kawasan investasi ASEAN pada Pertemuan Pemimpin ASEAN di Bangkok pada tahun 1995. Untuk menindaklanjuti gagasan tersebut, pada tahun 1996, dibentuk Komite Kerja Kawasan Investasi ASEAN (WC-AIA), yang berada dibawah naungan SEOM, dengan mandat menyiapkan  sebuah Persetujuan Dasar tentang Kawasan Investasi ASEAN (Framework Agreement on ASEAN Investment Area/FA-AIA).
Framework Agreement on ASEAN Investment Area ditandatangani di Makati City, Filipina, pada tahun 1998. Bersamaan dengan penandatanganan tersebut juga disahkan pembentukan AIA Council. FA-AIA mencakup seluruh kegiatan investasi, kecuali investasi portfolio dan kegiatan investasi lainnya yang sudah tercakup pada perjanjian ASEAN lainnya, seperti the ASEAN Framework Agreement on Services. Tujuan utama yang hendak dicapai adalah menciptakan suatu Kawasan Investasi ASEAN yang liberal dan transparan, sehingga dapat meningkatkan arus investasi ke kawasan. Liberalisasi investasi bagi negara anggota ASEAN disepakati untuk mulai berlaku pada tahun 2010, sedangkan dengan negara non-ASEAN disepakati untuk direalisasikan pada tahun 2020.

Kerangka kerja AIA mencakup semua arus investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) ke ASEAN maupun investasi langsung antar negara-negara ASEAN. Persetujuan tersebut antara lain akan mengikat negara-negara anggota untuk menghapus hambatan-hambatan investasi, meliberalisasi peraturan-peraturan dan kebijaksanaan investasi, memberi persamaan perlakuan nasional dan membuka investasi di industrinya terutama sektor manufaktur. Dengan menciptakan ASEAN sebagai suatu kawasan investasi yang lebih berdaya saing dan terbuka, AIA diharapkan dapat menarik arus investasi langsung  ke ASEAN.

Pada pertemuan Menteri Ekonomi ASEAN Ke-40 yang berlangsung di Singapura bulan Agustus 2008, negara-negara ASEAN sepakat untuk membentuk suatu rejim investasi ASEAN yang lebih terbuka serta mendukung proses integrasi ekonomi di Asia Tenggara. Rejim yang dimaksud adalah ASEAN Comprehensive Investment Agreement (ACIA) yang merupakan hasil revisi dan penggabungan dari  ASEAN Investment Area (AIA) dan ASEAN Investment Guarantee Agreement (ASEAN-IGA). ACIA mencakup empat pilar utama yang meliputi: liberalisation, protection, facilitation and promotion.

ACIA lebih bersifat komprehensif dibandingkan dengan AIA dan ASEAN IGA, dikarenakan ACIA telah mengadopsi international best practices dalam bidang investasi dengan mengacu kepada kesepakatan-kesepakatan investasi internasional. Dengan adanya ACIA, diharapkan ASEAN dapat meningkatkan iklim investasi di kawasan dan menarik lebih banyak investasi asing. Sebagai tambahan, nilai investasi asing di ASEAN pada tahun 2005 berjumlah sebesar US$. 41.06 milyar dan tahun 2006 sebesar US$. 52.3 milyar.

Setelah mengalami pembahasan yang cukup alot sejak tahun 2006, ASEAN akhirnya berhasil menyelesaikan pembahasan  ASEAN Comprehensive Investment  Agreement (ACIA).  Draft ACIA dimaksud telah dibahas dan di-endorse pada Pertemuan ke-40 ASEAN Economic Ministers (AEM) tahun 2008. Diharapkan ACIA akan dapat ditandatangani pada KTT ke- 14 ASEAN mendatang di Chiang Mai, Thailand, Desember 2008. Dengan ditandatanganinya ACIA, diharapkan akan dapat menjadikan ASEAN menjadi wilayah yang sangat kompetitif untuk menarik Foreign Direct Investment (FDI) serta mendukung realisasi ASEAN Economic Community.





Kerjasama di Sektor Komoditi dan Sumber Daya Alam

Kerjasama Pertanian

1)    Pangan

Secara umum kondisi pangan ASEAN pada tahun 2005/2006 stabil. ASEAN telah mampu mencapai swasembada, khususnya untuk komoditi beras dan gula yang produksinya melebihi kebutuhan di ASEAN. Untuk jagung dan kedelai, ASEAN masih mengandalkan impor karena produksi lokal belum mampu memenuhi kebutuhan domestik.

Dalam skema kerja sama ASEAN Plus Three, 2 (dua) proyek telah dilaksanakan sejak tahun 2004 – 2008, yaitu East Asia Emergency Rice Reserves (EAERR) dan ASEAN Food Security Information System (AFSIS). Kegiatan EAERR terutama difokuskan pada implementasi mekanisme pengadaan beras (stock release mechanism) dan pemanfaatan cadangan beras darurat untuk kondisi bencana. Sementara itu, kegiatan AFSIS difokuskan pada pembuatan jaringan informasi mengenai ketahanan pangan dan pengembangan sumber daya manusia. Dalam proyek AFSIS, sebuah website telah dibentuk yang memberikan informasi mengenai situasi dan perencanaan kebijakan ketahanan pangan di kawasan.

ASEAN juga telah membentuk ASEAN General Guidelines on the Preparation and Handling of Halal Food sebagai upaya memperluas perdagangan daging dan produk daging intra-ASEAN.

Menanggapi perkembangan krisis dunia yang berdampak pada sektor pangan, ASEAN sesuai dengan usulan Presiden RI, telah menyusun sebuah skema strategis dan komprehensif untuk memperkuat ketahanan pangan regional yang disebut ASEAN Integrated Food Security (AIFS) Framework beserta rencana kerja jangka menengah yang disebut Strategic Plan of Action on Food Security in the ASEAN Region (SPA-FS).  Para Menteri Pertanian dan Kehutanan ASEAN menyepakati untuk merekomendasikan dokumen tersebut ke ASEAN Summit di Thailand, bulan Desember 2008. Selanjutnya, kedua dokumen tersebut akan di-endorse oleh para Pemimpin ASEAN melalui Bangkok Statement on Food Security in the ASEAN Region.

2)    Tanaman Pangan (Crops)

Sejak tahun 2006 – 2008, ASEAN telah membuat Daftar Hama Endemik untuk beberapa komoditas pertanian yang diperdagangkan di kawasan, yaitu padi giling, jeruk (citrus), mangga, kentang, dan anggrek potong dendrobium. Upaya harmonisasi phytosanitary untuk komoditas-komoditas tersebut akan terus dilanjutkan khususnya untuk pengembangan panduan importasi.

ASEAN Plant Health Cooperation Network (APHCN) telah dibentuk sebagai sarana untuk berbagi informasi mengenai kesehatan tanaman di negara-negara anggota ASEAN. Saat ini, informasi mengenai Undang-undang Karantina Tanaman dan persyaratan impor untuk Malaysia dan Singapura telah tersedia di website APHCN. Dalam inisiatif ini, akan dibentuk ASEAN Regional Diagnostic Initiative sebagai proyek percontohan untuk mengatasi hambatan terhadap akses pasar produk pertanian.

Melalui harmonisasi Maximum Residue Limits (MRLs) untuk pestisida, ASEAN terus berupaya untuk melindungi kesehatan konsumen dan memfasilitasi perdagangan dengan meminimalisir penggunaan pestisida dan memastikan keamanan pangan dan mencegah kerusakan lingkungan. Dalam 29th ASEAN Ministerial Meeting on Agriculture and Forestry (29th AMAF) di Bangkok, 2007, ASEAN telah mengadopsi harmonisasi 99 MRL untuk 16 pestisida. Sebelumnya ASEAN telah memiliki 658 MRL untuk 61 pestisida.

ASEAN terus berupaya untuk melaksanakan upaya terpadu dalam mengharmonisasi standar dan kualitas, jaminan keamanan pangan dan standarisasi sertifikasi perdagangan untuk mendukung integrasi ekonomi dan meningkatkan daya saing produk-produk pertanian dan kehutanan ASEAN di pasar internasional. Untuk itu, ASEAN telah mengadopsi ASEAN Good Agricultural Practices (ASEAN GAP) mengenai penanganan produksi, panen dan paska panen buah dan sayuran segar serta sejumlah produk hortikultura lainnya berupa Standar ASEAN untuk mangga, nanas, durian, papaya, pumelo, dan rambutan.

Sebagai upaya kawasan untuk mengendalikan penggunaan pestisida, ASEAN telah memiliki website untuk lembaga pengawasan pestisida “aseanpest” (http://agrolink.moa.my/doa/aseanpest) yang memberikan landasan untuk saling bertukar informasi dan database serta penanganan masalah-masalah yang berkaitan dengan pengelolaan pemanfaatan pestisida.

3)    Agricultural Training and Extension

ASEAN terus melanjutkan program Pengelolaan Hama secara Terpadu (Integrated Pest Management/IPM) untuk berbagai tanaman pangan, termasuk pengembangan modul pelatihan untuk komoditas prioritas dan pengorganisasian pelatihan IPM di kawasan terhadap komoditas prioritas tersebut. Komoditas dimaksud, di antaranya mangga, jeruk, bawang merah, beras, pumelo dan kedelai. Pertukaran pejabat, pelatih dan petani terkait IPM untuk citrus telah diorganisir oleh Thailand pada tanggal 10-16 Juni 2008.

Sejumlah aktivitas untuk meningkatkan pengetahuan pekerja dan petani telah pula dilaksanakan, di antaranya: Regional Training on Edible and Medicinal Mushroom Production Technology for ASEAN Extension Workers and Farmers (1-2 November 2008 di Viet Nam) serta pertukaran pejabat, pelatih dan petani yang diorganisir di Palembang, Indonesia, tanggal 5-10 Juli 2007.





4)   Penelitian dan Pengembangan di bidang Pertanian

Kerjasama Penelitian dan Pengembangan di bidang pertanian telah dimulai sejak 2005. Sejumlah aktivitas telah dilakukan, termasuk pembentukan ASEAN Agricultural Research and Development Information System (ASEAN ARDIS), ASEAN Directory of Agricultural Research and Development Centres in ASEAN, dan Guidelines for the Use of the Digital Information System.

5)   Codex

ASEAN telah mengembangkan website ASEAN Food Safety Network (www.aseanfoodsafetynetwork.net) untuk memberikan informasi yang berguna terkait keamanan pangan, seperti upaya SPS di berbagai bidang, isu-isu yang muncul dalam badan-badan penetapan standar internasional (Codex, OIE, IPPC, dll), serta hasil kerja dari berbagai badan di ASEAN terkait keamanan pangan.

6)   Skema Promosi Produk Pertanian dan Kehutanan

Untuk mempromosikan produk pertanian dan kehutanan, ASEAN telah memperpanjang implementasi Memorandum of Understanding (MoU) on ASEAN Cooperation in Agriculture and Forest Products Promotion Schemes untuk periode 5 tahun ke depan, dari 2004 menjadi 2009. MoU ini tetap relevan sebagai basis kerjasama dengan sektor swasta dan berkoordinasi tentang posisi bersama terkait perdagangan produk pertanian dan kehutanan ASEAN. Pembuatan MoU saat ini tengah dikembangkan oleh Negara-negara Anggota ASEAN, termasuk pengkajian produk-produk pertanian dan kehutanan yang dicakup dalam MoU. Dengan mempertimbangkan relevansi situasi pasar yang ada serta aktivitasnya dalam 12 tahun terakhir, 5 produk, yaitu: udang beku, ayam beku, nanas kaleng, tuna kaleng, dan karet alam telah disetujui untuk dihapus dari daftar.

7)    Bioteknologi

ASEAN menyadari pentingnya bioteknologi pertanian sebagai cara untuk meningkatkan produktifitas pangan secara berkelanjutan. Namun demikian, saat ini terdapat kekhawatiran publik terhadap penggunaan bioteknologi yang perlu diatasi. ASEAN telah mengadopsi Guidelines on the Risk Assessment of Agriculture-related Genetically Modified Organisms (GMOs). Panduan ini memberikan Negara-negara Anggota ASEAN pendekatan dan pemahaman bersama saat melakukan evaluasi ilmiah terhadap peluncuran GMOs di bidang pertanian. Panduan ini menggambarkan prosedur notifikasi, persetujuan, dan registrasi GMOs di bidang pertanian.

Menyadari pentingnya pemahaman mengenai teknologi dan penilaian risiko untuk Manipulasi Genetika (MG), serta untuk meningkatkan pembangunan kapasitas di bidang ini, ASEAN telah mengembangkan Program Kesadaran Publik terhadap GMOs. Dalam program ini, Frequently Asked Questions (FAQs) mengenai GMOs dari seluruh Negara Anggota ASEAN dikumpulkan dan diterbitkan untuk informasi publik.

Dalam meningkatkan pembangunan kapasitas, ASEAN berkolaborasi dengan International Life Sciences Institute Southeast Asia telah mengembangkan serangkaian pelatihan dan workshop mengenai penggunaan ASEAN Guidelines on Risk Assessment of Agriculture-related GMOs yang ditujukan bagi para pejabat dan pengambil keputusan. Tiga buah workshop telah diadakan di Singapura (2001), Kuala Lumpur (2002), Bangkok (2003) dan Jakarta (2004).

Kerjasama Peternakan

         Kerjasama ASEAN di bidang peternakan semakin berkembang, terutama mengenai Regularization of Production and Utilization of Animal Vaccines; Promotion of International Trade in Livestock and Livestock Products; dan Strengthening Animal Diseases Control Programme. Sejumlah inisiatif baru, termasuk Common Stand on Codex Issues dan Veterinary Drug Residues in Food juga telah dimulai.

         Dalam upaya mengatur produksi dan pemanfaatan vaksin hewan, ASEAN telah menyetujui untuk memperbaiki mekanisme yang ada serta prosedur registrasi vaksin hewan yang diproduksi di dalam dan di luar Negara Anggota ASEAN. Untuk tujuan ini, sebuah mekanisme tunggal akan dipakai. AMAF ke-29 di Bangkok, 2007, telah menyetujui ASEAN Standard for Live Infectious Bronchitis Vaccine dan Inactivated Infectious Bronchitis Vaccine. Para Menteri Pertanian ASEAN juga telah mengakreditasi ulang National Veterinary Drug Assay Laboratory (NVDAL), Gunung Sindur, Indonesia sebagai laboratorium pengetesan vaksin untuk 9 vaksin hewan selama periode 3 tahun.

         Munculnya Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) di beberapa Negara Anggota ASEAN sejak Desember 2003 memiliki dampak yang cukup besar terhadap perekonomian kawasan. Salah satu kekhawatiran ialah kemampuan virus untuk menyebar dari unggas ke manusia. Untuk menanganinya, dibentuk Regional Framework for Control and Eradication of HPAI. ASEAN telah menyelesaikan implementasi 8 (delapan) komponen dalam kerangka regional tersebut, bekerjasama dengan organisasi internasional/mitra wicara.

         ASEAN telah membentuk dan menandatangani Agreement for Establishment of the ASEAN Animal Health Trust Fund (AHTF) pada bulan November 2006 untuk mendukung aktivitas ASEAN mengendalikan dan memberantas penyakit hewan di kawasan.




Kerjasama Perikanan

         ASEAN Network of Fisheries Post-Harvest Technology Center melanjutkan kerjasamanya dengan Departemen Penelitian Perikanan Laut dari Southeast Asia Fisheries Development Center (SEAFDEC) untuk mengimplementasi kegiatan-kegiatan: (i) HACCP Training Programmes, (ii) Regional Code of Conduct on Post-Harvest Practices and Trade, dan (iii) ASEAN-Australia Development and Cooperation Programme (AADCP) mengenai “Quality Assurance and Safety of ASEAN Fish and Fishery Products”. Kesuksesan kolaborasi dengan SEAFDEC juga mendorong pengembangan inisiatif baru berupa: Seafood Safety Information Network dan Chloramphenicol, and Nitrofuran Residues in Aquaculture Fish and Fish Products.

         ASEAN terus melanjutkan kolaborasi dengan SEAFDEC dan telah menyetujui kerja sama untuk memperkuat mekanisme dan implementasi program perikanan kawasan melalui pembentukan “ASEAN-SEAFDEC Strategic Partnership (ASSP)”. Dalam AMAF ke-29, telah ditandatangani Letter of Understanding (LoU) ASSP oleh Sekjen ASEAN dan Sekjen SEAFDEC.

         Dengan bantuan dari Australia, ASEAN telah menyelesaikan Hazard Guide-A Guide to the Indentification and Control of Food Safety Hazard in the Production of Fish and Fisheries Products in the ASEAN Region, dan Guidelines on Development of Standard Operating Procedures (SOP) for Health Certification and Quarantine Measures for the Responsible Movement of Live Food Finfish.

         Negara-negara Anggota ASEAN juga telah menyetujui inisiatif untuk membentuk ASEAN Shrimp Alliance (ASA) dan ASEAN Network on Aquatic Animal Health Centres (ANAAHC).

Kerjasama Kehutanan

         Pengembangan kriteria nasional dan indikator untuk pengelolaan hutan berkelanjutan (sustainable forest management/SFM), termasuk pengkajian kebijakan, dan penanaman hutan telah mengalami kemajuan di masing-masing Negara Anggota ASEAN. Pada tingkat regional, pengembangan inisiatif Pan ASEAN Timber Certification telah menggunakan kriteria yang diakui secara internasional untuk memastikan diterimanya produk kayu ASEAN yang bersertifikat di pasar internasional. Sesuai dengan persyaratan pelaporan kehutanan internasional, AMAF ke-29 telah menyetujui sebagai berikut:

i.      ASEAN Criteria and Indicators for Sustainable Management of Tropical Forests;
ii.     Monitoring, Asssesment and Reporting Format for Sustainable Forest Management in ASEAN; dan
iii.    ASEAN Guidelines for the Implementation of IPF/IFF proposals for Action

Isu illegal logging untuk dikerjasamakan di ASEAN telah diperjuangkan oleh Indonesia lebih dari 3 (tiga) tahun lalu. Pada awalnya, Malaysia sangat resisten terhadap isu dimaksud. Namun akhirnya, Malaysia dapat menerima illegal logging dikerjasamakan di ASEAN mengingat hal tersebut telah mendapatkan  dukungan dari  anggota ASEAN lainnya. Akhirnya disepakati ASEAN Ministerial Statement on Strengthening Forest Law Enforcement and Governance (FLEG) in ASEAN yang memuat mengenai kerja sama ASEAN untuk memberantas illegal logging and its associated trade. FLEG tersebut telah didukung dengan Work Plan for Strengthening FLEG in ASEAN 2008 – 2015.

Di bawah program ASEAN-German Regional Forest Program, ASEAN Forestry Clearing House Mechanism (CHM) telah dibentuk untuk memberikan landasan informasi di antara Negara-negara Anggota ASEAN terkait diskusi mengenai hal-hal yang menjadi kepentingan bersama.

Volume pertama dari Database on ASEAN Herbal and Medicinal Plants, yang terdiri dari 64 species tanaman telah diselesaikan dan diterbitkan. Saat ini ASEAN tengah menyelesaikan volume kedua Database yang berisikan 50 species.

ASEAN juga telah setuju untuk bekerjasama secara lebih proaktif dan intensif dalam implementasi CITES. Menteri-menteri ASEAN yang bertanggungjawab untuk CITES telah mendeklarasikan Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between ASEAN and India pada tanggal 8 Oktober 2003 pada tanggal 2-14 Oktober di Bangkok. ASEAN pun menunjukkan komitmennya pada bidang ini dengan mengembangkan dan mengadopsi ASEAN Regional Action Plan on Trade in Wild Fauna and Flora 2005-2010. ASEAN Wildlife Enforcement Network (ASEAN-WEN) telah dibentuk pada Desember 2005 untuk menyediakan mekanisme koordinasi dan pertukaran informasi yang efektif di antara badan-badan penegak ubli pada level nasional dan regional untuk memberantas perdagangan flora dan fauna liar secara illegal.
                                                               
Perkembangan Kerjasama di Bidang Energi

ASEAN telah menetapkan  rencana aksi ASEAN yang disebut ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation (APAEC) 2004-2009, yang meliputi langkah-langkah: memperkuat ketahanan energi regional; meningkatkan integrasi infrastruktur  energi regional; menciptakan kebijakan energi regional yang responsif yang secara bertahap  mendorong reformasi pasar, liberalisasi dan lingkungan hidup yang berkelanjutan; melibatkan sektor swasta dalam upaya mengamankan cadangan energi regional.

Adapun ruang lingkup kerjasama ASEAN di bidang energi mencakup isu-isu: (i). Ketahanan energi (Energy Security); ii). Pembangunan jaringan kelistrikan (Power Interconnection); iii). Efisiensi energi (Energy Efficiency); (iv). Kebijakan regional di bidang energi (Regional Energy Policy); (v). Penelitian dan pengembangan energi terbarukan (Research and Energy, and Renewable Energy).

Berkaitan dengan kerjasama energi ASEAN, terdapat 3 (tiga) dasar hukum yang menjadi rujukan, yaitu MoU on Trans ASEAN Gas Pipeline (MoU on TAGP), ditandatangani tahun 2002  dan MOU on ASEAN Power Grid (MoU on APG), yang ditandatangani pada tahun 2007 dan saat ini masih menunggu proses ratifikasinya. Disamping itu juga akan ditandatangani New ASEAN Petroleum Security Agreement  (APSA), yang akan ditandatangani pada KTT ke-14 ASEAN mendatang.

Proyek-proyek yang tercakup dalam kerjasama TAGP terdiri dari 8 (delapan) yaitu : Duri, Indonesia – Melaka, Malaysia; West Natuna, Indonesia – Duyong, Malaysia; East Natuna, Indonesia – JDA – Erawan, Thailand;  East Natuna – West Natuna – Kerteh, Malaysia;  East Natuna – West Natuna – Singapura; East Natuna, Indonesia – Brunei Darrusalam – Sabah, Malaysia – Palawan-Luzon, Philippina; Malaysia – Thailand JDA – Blok B Viet Nam; Pauh, Malaysia – Arun, Sumatera, Indonesia; East Kalimantan – Sabah – Philippines.

Untuk proyek interkoneksi ASEAN, sejauh ini terdapat 14 proyek interkoneksi ASEAN. Proyek yang terkait dengan Indonesia, yaitu  Peninsular Malaysia – Sumatra (Medium term –TNB dan PLN); Batam – Bintan – Singapura – Johor (Long term – PLN, SPPG dan TNB); Sarawak – West Kalimantan (Medium term –Sesco dan PLN);


1)    Kerjasama Energi ASEAN + 3
                               
      Kerjasama keamanan energi ASEAN+3 muncul sebagai akibat semakin meningkatnya kebutuhan energi baik di tingkat regional maupun tingkat dunia. Pertemuan pertama ASEAN Ministers on Energy Meeting  (AMEM) + 3 berlangsung pada tanggal  9 Juni 2004 di Manila, Filipina dan mensahkan program kegiatan Energy Security Forum, Natural Gas Forum, Oil Market Forum, Oil Stockpiling Forum dan Renewable Energy Forum dan upaya bersama untuk mengatasi isu-isu di pasaran minyak regional termasuk “Asian Premium”. Selain itu, disetujui untuk mendorong penetapan harga spot minyak berorientasi pasar dan diimplementasikan di bursa berjangka untuk produk minyak mentah (crude oil) dan produk-produk bahan bakar lainnya.

      Pada pertemuan ke-5 AMEM + 3 di Bangkok, 2007, telah disepakati kerjasama energi ASEAN + 3, yaitu energy security, oil market, oil stockpiling, natural gas serta New Renewable Energy (NRE) dan Energy Efficiency and Conservation (EE&C). Sidang juga sepakat untuk memperluas kerjasama regional dengan memasukkan kerjasama civilian nuclear energy. Dalam kaitan ini juga telah disepakati Work Plan untuk Oil Stockpiling Roadmap yang akan didasarkan kepada 4 (empat) prinsip, yaitu voluntary dan tidak mengikat, saling menguntungkan, saling menghormati, pendekatan tahap demi tahap dengan perspektif jangka panjang.

      Terkait dengan pengembangan kerjasama Energy Efficiency and Conservation (EE & C) disepakati bahwa kerjasama dapat dilakukan melalui peningkatan dialog, pengembangan networking serta sharing informasi.

      Disepakati Proposal Korea mengenai kerjasama Clean Development Mechanism (CDM) untuk memperluas kesempatan bagi proyek-proyek CDM guna membantu mengurangi greenhouses gas emission (GHG) serta meningkatkan sustainable development melalui kegiatan capacity building. Para Menteri meminta ASEAN Center for Energy dan Korea Energy Management Cooperation dapat menindaklanjuti proposal tersebut.

Para Menteri menyambut baik proposal Korea mengenai kerjasama civilian nuclear energy sesuai dengan ASEAN + 3 Cooperation Work Plan (2007 – 2017), dengan kegiatan antara lain capacity building seperti training staff/personnel untuk civilian nuclear development di kawasan. Korea diharapkan dapat bekerjasama dengan ACE untuk meneruskan inisiatif tersebut.


2)    Kerjasama East Asia Summit  di bidang Energi

      Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-2 East Asia Summit (EAS) di Cebu, Filipina, tanggal 15 Januari 2007, isu yang menjadi fokus utama adalah energy security. Pembahasan isu energy security dalam KTT ini diarahkan untuk mencapai tujuan bersama negara-negara EAS yaitu memastikan ketersediaan sumber energi yang terjangkau (affordable) bagi pembangunan di    kawasan. Dalam KTT tersebut, para Pemimpin EAS sepakat bahwa pembahasan mengenai energi harus mencakup elemen-elemen energy security, sumber daya energi alternatif dan terbarukan, efisiensi energi dan konservasi energi, dan perubahan iklim global.

Untuk menegaskan komitmen kerjasama di bidang energi tersebut, para Pemimpin EAS mengadopsi Cebu Declaration on East Asian Energy Security, yang bertujuan untuk mencapai tujuan sebagai berikut:

o   Meningkatkan efisiensi dan kinerja penggunaan bahan bakar fosil yang ramah lingkungan;

o   Mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar konvensional melalui peningkatan efisiensi energi dan program-program konservasi, tenaga air, perluasan sistem energi terbarukan, produksi dan penggunaan bio-fuel, dan penggunaan tenaga nuklir untuk maksud damai;


o   Mendorong terciptanya suatu pasar regional dan internasional yang terbuka dan kompetitif, yang bertujuan untuk menyediakan pasokan energi yang terjangkau untuk semua kalangan masyarakat;


o   Mengurangi emisi gas rumah kaca melalui kebijakan yang efektif, dengan tujuan untuk berkontribusi mengurangi dampak perubahan iklim global;


o   Mendorong investasi di bidang sumber daya energi dan pembangunan infrastruktur melalui peningkatan keterlibatan sektor swasta;


KTT ke-2 EAS juga menyambut baik berbagai proposal kerjasama di bidang energy security, termasuk inisiatif empat pilar yang diajukan oleh Jepang yang berjudul “Fueling Asia – Japan’s Cooperation Initiative for Clean Energy and Sustainable Growth” dan kesediaan Jepang untuk memberikan bantuan dana energy-related ODA sebesar US$ 2 Milyar untuk tiga tahun ke depan. Para Pemimpin juga sepakat untuk membentuk suatu EAS Energy Cooperation Task Force (EAS ECTF), berdasarkan mekanisme sektoral di bidang energi yang telah ada di ASEAN untuk menindaklanjuti kesepakatan yang telah diambil para Pemimpin EAS mengenai energy security dan melaporkan rekomendasinya pada KTT EAS mendatang.

Pada Pertemuan pertama  East Asia Summit Energy Ministerial Meeting (1st EAS EMM) di Singapura, tanggal 23 Agustus 2007, Sidang sepakat bahwa 3 (tiga) work stream yaitu energy efficiency and conservation (EE & C); energy market integration; biofuels for transport and other purposes sebagai langkah awal untuk mengembangkan kerjasama dalam rangka energy security negara-negara anggota EAS. Sidang juga sepakat untuk terus mengembangkan kemungkinan kerjasama teknologi baru untuk biofuels  serta melakukan upaya-upaya konkrit untuk merealisasikan kerjasama energy efficiency and conservation berdasarkan “voluntary basis” dan menyambut baik pembentukan Asia Biomass Research Core dan Asia Biomass Energy Cooperation Promotion Office di Jepang;

Pada Pertemuan Kedua Asia Summit Energy Ministerial Meeting (2nd EAS EMM), Agustus 2008, para Menteri mendukung upaya-upaya yang berkesinambungan dari EAS Energy Cooperation Task Force (ECTF) untuk mengembangkan kerjasama melalui 3 (tiga) Work Streams kerjasama energi, yaitu Energy Efficiency and Conservation (EE & C), Energy Market Integration (EMI) dan Biofuels untuk transportasi dan tujuan-tujuan lainnya. Disamping itu Para Menteri menyambut baik EAS Energy Outlook yang dipersiapkan oleh Economic Institute for ASEAN and East Asia (ERIA). Dalam kaitan ini, para Menteri mengharapkan agar ERIA dapat memperdalam analisisnya dan memberikan masukan agar kerjasama dalam hal energy effisiency and  conservation lebih efektif.

Para Menteri juga sepakat bahwa rekomendasi laporan  hasil studi Energy Market Integration in the East Asia Region  perlu dipertimbangkan khususnya rekomendasi untuk mengadakan pertemuan forum konsultasi atau pertemuan-pertemuan lainnya, untuk share pandangan mengenai policy approaches dan untuk menentukan langkah-langkah dalam meningkatkan pasar energi yang terintegrasi. Dalam kaitan ini, para Menteri meminta ECTF untuk memperdalam studi mengenai Energy Market Integration untuk dilaporkan pada pertemuan EAS Energy Ministers Meeting mendatang.

Para Menteri sepakat menetapkan mengenai Asian Biomass Energy Principles  sebagai pedoman untuk produksi dan pengunaannya di kawasan. Dalam kaitan ini, para Menteri sepakat untuk mempromosikan produksi dan penggunaan biofuels dan kerjasama regional yang tidak mengganggu ketahanan pangan. Para Menteri menugaskan ERIA untuk mengembangkan metodologi  bagi assesment lingkungan dan social sustainability dalam produksi dan penggunaan biomass mengingat kondisi-kondisi khusus di kawasan.

Kerjasama ASEAN di Sektor Usaha Kecil dan Menengah

Kerjasama ASEAN di sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) telah dirintis sejak tahun 1995, yang ditandai dengan dibentuknya Kelompok Kerja Badan-Badan UKM ASEAN (ASEAN Working Group on Small and Medium-size Enterprises Agencies). Dalam pertemuan pertamanya di Jakarta tanggal 24 April 1995 telah disahkan Rencana Aksi ASEAN bagi pengembangan UKM. Pertemuan ini juga menyepakati bahwa pada tahap awal kerjasama ASEAN di bidang UKM akan terfokus pada sektor manufaktur.

Sidang ASEAN Economic Minister Meeting (AEM) ke-31 di Singapura tanggal 27 September–2 Oktober 1999 telah menyepakati kerangka kerjasama yang melibatkan UKM dalam ASEAN Industrial Cooperation (AICO). Kerangka kerjasama ini didasari oleh pemahaman bahwa UKM sebagian besar melaksanakan fungsinya sebagai industri pendukung bagi perusahaan-perusahaan besar, disamping untuk memberikan kesempatan kepada UKM untuk berpartisipasi secara langsung dalam perdagangan intra ASEAN.

ASEAN Policy Blueprint for SMEs Development (APBSD) 2004-2014 telah disahkan pada Sidang AEM ke-36 di Jakarta, 3 September 2004.  Policy blueprint tersebut bertujuan untuk menjamin adanya transformasi UKM ASEAN yang memiliki daya saing, dinamis, inovatif dalam rangka menuju integrasi ekonomi ASEAN. Tujuan-tujuan tersebut telah dituangkan dalam aktivitas-aktivitas ASEAN Small and Medium Enterprise Agencies Working Group (SMEWG) guna merealisasikan tujuan yang hendak dicapai dalam APBSD. Pada pertemuan SMEWG ke-22 di Singapura, 27-28 Mei 2008, telah dibahas beberapa hal yang mencakup: pembentukan common curriculum for entrepreneurship in ASEAN oleh Indonesia dan Singapura, rencana penyusunan ASEAN SME White Paper, implementasi SME Section dalam AEC Blueprint. Dan kerjasama dengan mitra wicara.

Hal ini dapat diwujudkan melalui suatu cooperative framework yang melibatkan secara aktif peran sektor swasta di ASEAN disamping meningkatkan budaya wirausaha, inovasi dan networking di kalangan UKM, memberikan fasilitas kepada UKM untuk memperoleh akses informasi, pasar, SDM, kredit dan keuangan serta teknologi modern. Berdasarkan cetak biru tersebut telah dipilih lima bidang kerjasama strategis dalam pengembangan UKM ASEAN, yaitu: Pembangunan Sumber Daya Manusia; Dukungan dalam Bidang Pemasaran; Bantuan dalam Bidang Keuangan; Pengembangan Teknologi; dan Penerapan Kebijakan yang Kondusif.

Dalam perkembangannya, kerjasama ASEAN di sektor UKM lebih difokuskan pada tindak lanjut proyek-proyek peningkatan kapasitas dan daya saing UKM di bawah payung Vientiane Action Plan dan ASEAN Policy Blueprint for SMEs Development (APBSD) 2004-2014; kerjasama dengan negara-negara Mitra Wicara; serta hal-hal berkaitan dengan prospek pengembangan UKM di tengah kemajuan kerjasama ekonomi ASEAN. Dari 20 proyek yang disepakati dalam APBSD, sembilan proyek diantaranya telah selesai, tiga sedang berjalan, tujuh dalam persiapan dan satu tidak dapat dilaksanakan. Proyek-proyek APBSD 2004-2014 yang belum dapat dilaksanakan pada umumnya disebabkan oleh belum jelasnya pendanaan bagi proposal yang telah masuk serta adanya permintaan sejumlah Mitra Wicara agar usulan proyek-proyek baru dapat dikaitkan dalam kerangka FTA dengan ASEAN.

Pada pertemuan SMEWG ke-23 yang telah berlangsung di Vientiane, Lao PDR bulan Nopember 2008, telah disepakati bahwa draft common curriculum for entrepreneurship in ASEAN akan diujicobakan di Myanmar dan Viet Nam sebelum diterapkan di seluruh negara-negara ASEAN.


Kerjasama Ekonomi Sub-Regional ASEAN

Pelaksanaan Kerjasama Ekonomi Sub-Regional (KESR) dilakukan untuk mengambil manfaat dan saling melengkapi dalam mempercepat pembangunan ekonomi melalui peningkatan arus investasi, pengembangan infrastruktur, pengembangan sumber daya alam dan manusia, serta pengembangan industri. Tujuan utama pembentukan sub-wilayah pertumbuhan adalah untuk memadukan kekuatan dan potensi-potensi tiap-tiap wilayah yang berbatasan sehingga menjadi wilayah pertumbuhan yang dinamis. Kerjasama ekonomi sub-regional, sering juga disebut sebagai segitiga pertumbuhan (growth triangle) atau wilayah pertumbuhan (growth area), merupakan salah satu bentuk keterkaitan (linkage) ekonomi antar daerah dengan memiliki unsur internasional. Daerah anggota kerjasama tersebut lebih dari satu negara.

Dalam konteks ASEAN, sesuai dengan Agenda for Greater Economic Integration, pembentukan KESR didasarkan pada prinsip keterbukaan dalam pembangunan wilayah (open regionalism) dan bukan pada pembentukan blok kawasan yang tertutup (building block). Berbagai kendala yang muncul dalam perkembangan kerjasama growth areas ini menjadi  feed back bagi kemajuan skema pertumbuhan wilayah ini dan ASEAN terus mengupayakan inisiatif-inisiatif baru dalam kerangka pengembangan kerjasama tersebut seperti pembentukan ASEAN Mekong Basin Development Cooperation.

Kawasan Pertumbuhan ASEAN Bagian Timur: Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Filipina (BIMP-EAGA)
        
Ide pembentukan Wilayah Pertumbuhan ASEAN Timur (BIMP-EAGA) pertama kali disampaikan oleh Presiden Filipina, Fidel Ramos pada bulan Oktober 1992 untuk menghubungkan daerah Filipina Selatan dengan Wilayah Timur Indonesia dan Wilayah Timur Malaysia. Ide tersebut kemudian disampaikan kepada PM Malaysia Mahathir Muhamad dan Presiden Soeharto. Kerjasama  BIMP-EAGA secara resmi dibentuk melalui penandatanganan Agreed Minutes pada pertemuan tingkat menteri di Davao City, Filipina, 26 Maret 1994.  BIMP EAGA tersebut diikuti oleh empat negara di kawasan timur ASEAN yaitu Brunei Darussalam, Indonesia (Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara), Malaysia (Sabah, Serawak, dan Labuan), dan Filipina (Mindanao dan Palawan).
                 
Kerjasama BIMP-EAGA dibentuk untuk menarik minat para investor lokal dan asing untuk melakukan investasi dan meningkatkan perdagangan di kawasan timur ASEAN. Tujuan pembentukan BIMP-EAGA adalah mengembangkan kerjasama sub-regional antara negara-negara anggota dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi di sub-kawasan tersebut. Sektor kerjasama yang diprioritaskan adalah transportasi udara dan laut, perikanan, pariwisata, energi, kehutanan, pengembangan sumber daya manusia dan mobilitas tenaga kerja. Untuk melibatkan pihak swasta secara aktif telah dibentuk forum khusus East ASEAN Business Council (EABC) di Davao City 15-19 Nopember 1994. 
     
Pembagian area kerja BIMP-EAGA digolongkan dalam beberapa cluster, yaitu: cluster bidang transportasi dan pembangunan infrastruktur yang membawahi air linkages, sea linkages, telekomunikasi dan konstruksi dengan Brunei Darussalam sebagai koordinator; Cluster bidang sumber daya alam yang terdiri atas agro-industry, perikanan, kehutanan dan lingkungan hidup serta energi, dengan Indonesia sebagai koordinator; cluster pariwisata, dengan Malaysia sebagai koordinator; dan cluster UKM dan finansial dengan Filipina sebagai koordinator.

Pertemuan BIMP-EAGA Summit ke-3 di Cebu pada tanggal 12 Januari 2007 menghasilkan sebuah Joint Statement for 3rd BIMP-EAGA Summit yang intinya antara lain menyepakati BIMP-EAGA Roadmap to Development yang meliputi percepatan penerapan flagship projects, pembuatan database perdagangan, investasi & pariwisata. Hal tersebut akan selaras dengan inisiatif AEC dan bertujuan untuk memajukan proses integrasi ASEAN; menyepakati peningkatan keterlibatan pihak swasta untuk berpartisipasi pada BIMP-EAGA Business Council; menggerakkan sektor UKM bekerjasama dengan ADB serta meningkatkan peran pemuda dalam kerjasama sosial budaya, riset, olahraga, dan pendidikan.

b) Segitiga Pertumbuhan: Indonesia, Malaysia dan Thailand (IMT-GT)

      Pembentukan Segitiga Pertumbuhan (Growth Triangle) IMT-GT dimulai dengan pertemuan bilateral tingkat menteri dan pejabat tinggi di Pulau Langkawi, Malaysia, 20 Juli 1993. Kerjasama  segi tiga pertumbuhan tersebut melibatkan tiga provinsi Indonesia yakni Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat; empat negara bagian Malaysia yaitu Perak, Penang, Kedah, Perlis dan  empat belas  provinsi Thailand Selatan.

      Kerjasama pertumbuhan tersebut diharapkan akan mempercepat pertumbuhan ekonomi dan memperlancar arus perdagangan, investasi, pariwisata, dan jasa, serta membuka peluang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya manusia secara optimal. Secara struktural mekanisme kerjasama IMT-GT terbagi atas dua tingkatan, yaitu Sidang Pejabat Tinggi (Senior Officials Meeting-SOM) dan Business Council Meeting (BCM). SOM terdiri dari pejabat-pejabat tinggi pemerintah dari Departemen Perdagangan dan Perindustrian dan beberapa anggota teras BCM. Sedangkan BCM terdiri dari pengusaha-pengusaha yang terlibat dalam kegiatan IMT-GT. SOM melakukan pertemuan setahun sekali dengan didahului pertemuan BCM. Hasil pertemuan BCM kemudian diajukan ke SOM.     

      Pada KTT ke-12 ASEAN di Cebu telah diadakan pula KTT ke-2 IMT-GT yang menyepakati sebuah Joint Statement of the 2nd IMT-GT Summit yang intinya antara lain penetapan IMT-GT Roadmap for Development 2007-2011 dan penetapan empat IMT-GT Economic Corridors (extended Songkhla-Penang-Medan, Straits of Malacca, Banda Aceh-Palembang, Dumai-Melaka); mendorong penguatan peran Swasta dan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan kerjasama IMT-GT; dukungan penguatan institusional IMT-GT; dan dukungan peran ADB dalam IMT-GT.



1 komentar: